Artikel

Keunggulan Suku Dayak


Sumpit Dayak Senjata Berburu Sekaligus Perang
Sumpit adalah salah satu senjata yang sering digunakan oleh suku Dayak. Selain untuk berburu, sumpit menjadi alat perang. Dari segi penggunaannya sumpit atau sipet ini memiliki keunggulan tersendiri karena dapat digunakan sebagai senjata jarak jauh dan tidak merusak alam karena bahan pembuatannya yang alami. Dan salah satu kelebihan dari sumpit atau sipet ini memiliki akurasi tembak yang dapat mencapai 218 yard atau sekitar 200 meter.
Dilihat dari bentuknya sumpit, sumpit memiliki bentuk yang bulat dan memiliki panjang antara 1,5-2 meter, berdiameter sekitar 2-3 sentimeter. Pada ujung sumpit ini diolah sasaran bidik seperti batok kecil seperti wajik yang berukuran 3-5 sentimeter. Pada bagian tengah dari sumpit dilubangi sebagai tempat masuknyadamek (anak sumpit). Pada bagian bagian atas sumpit lebih tepatnya pada bagian depan sasaran bidik dipasang sebuah tombak atau sangkoh (dalam bahasa Dayak). Sangkoh terbuat dari batu gunung yang lalu diikat dengan anyaman uei (rotan).
Jenis kayu yang biasanya digunakan untuk membuat sumpit pada umumnya adalah kayu tampang, kayu ulin atau tabalien, kayu plepek, dan kayu resak. Tak ketinggalan juga tamiang ataulamiang, yaitu sejenis bambu yang berukuran kecil, beruas panjang, keras, dan mengandung racun. Tidak semua orang memiliki keahlian dalam membuat sumpit atau sipet. Di Pulau Kalimantan saja hanya ada beberapa suku saja yang memiliki keahlian dalam pembuatan sumpit, yaitu suku Dayak Ot Danum, Punan, Apu Kayan, Bahau, Siang, dan suku Dayak Pasir.
Dalam proses pembuatan sumpit atau sipet dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama ketrampilan tangan dari sang pembuat. Cara kedua, yaitu dengan menggunakan tenaga dari alam dengan memanfaatkan kekuatan arus air riam yang dibuat menjadi semacam kincir penumbuk padi. Harga jual sumpit atau sipet telah ditentukan oleh hukum adat, yaitu sebesar jipen ije atau due halamaung taheta.
Menurut kepercayaan suku Dayak sumpit atau sipet ini tidak boleh digunakan untuk membunuh sesama. Sumpit atau sipet hanya dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti berburu. Sipet ini tidak diperkenankan atau pantang diinjak-injak apalagi dipotong dengan parang karena jika hal tersebut dilakukan artinya melanggar hukum adat, yang dapat mengakibatkan pelakunya akan dituntut dalam rapat adat.
Pada zaman penjajahan di Kalimantan dahulu kala, serdadu Belanda bersenjatakan senapan dengan teknologi mutakhir pada masanya, sementara prajurit Dayak umumnya hanya mengandalkan sumpit. Akan tetapi, serdadu Belanda ternyata jauh lebih takut terkena anak sumpit ketimbang prajurit Dayak diterjang peluru. Yang membuat pihak penjajah gentar itu adalah anak sumpit yang beracun. Sebelum berangkat ke medan laga, prajurit Dayak mengolesi mata anak sumpit dengan getah pohon ipuh atau pohon iren. Dalam kesenyapan, mereka beraksi melepaskan anak sumpit yang disebut damek.
Tanpa tahu keberadaan lawannya, tiba-tiba saja satu per satu serdadu Belanda terkapar, membuat sisa rekannya yang masih hidup lari terbirit-birit. Kalaupun sempat membalas dengan tembakan, dampak timah panas ternyata jauh tak seimbang dengan dahsyatnya anak sumpit beracun.
Tak sampai lima menit setelah tertancap anak sumpit pada bagian tubuh mana pun, para serdadu Belanda yang awalnya kejang-kajang akan tewas. Bahkan, bisa jadi dalam hitungan detik mereka sudah tak bernyawa. Sementara, jika prajurit Dayak tertembak dan bukan pada bagian yang penting, peluru tinggal dikeluarkan. Setelah dirawat beberapa minggu, mereka pun siap berperang kembali. Perjuangan anak negeri Dayak melawan penjajah Belanda ternyata tak kalah heroiknya dengan pejuang yang konon menggunakan bambu runcing untuk memerdekan negeri Indonesia. Sumpit menjadi salah satu senjata khas yang mampu menjadi bagian sejarah tak terlupakan. Sehingga saat ini, ketrampilan menyumpit menjadi olah raga yang populer di wilayah Kalimantan.

Add caption

Makan Khas Suku Dayak


Sayur umbut kelapa terbuat da­ri serabut pucuk pohon ke­la­pa yang lembek. Makanan khas suku Dayak Ngaju ini le­bih enak dimakan dengan opor da­ging sapi atau ayam, dan sam­bal goreng kacang pu­tih atau kacang tolo. Sebagai pe­leng­kapnya sambal terasi atau sam­bal mangga muda.
Bentuk dan warnanya tidak jauh berbeda dengan rebung putih. Yang membedakan, sayuran ini jauh lebih manis bila dibandingkan dengan rebung. Ini mungkin karena asalnya dari kelapa. Tak heran bila suku Dayak menyukai sayuran ini masih dalam kondisi mentah (belum dimasak). Mereka akan memakannya dengan dicampur dengan sambal.



 
Lemang/pulut (po’e)
Lemang atau pulut adalah makanan khas dari orang kalimantan barat. Meskipun juga banyak dijumpai makanan serupa diwilayah lain. Lemang biasanya ialah beras yang di masukan kedalam ruas bambu yang di dalam nya dilapisi daun pisang lalu diberi santan, dan bambu di panggang diatas bara api. Rasanya enak dan gurih, aroma nya yang membuat perut terasa tidak tahan ingin selalu di santap. Biasanya lemang di hidangkan disaat ada pesta perkawinan,syukuran maupun upacara adat.


 
 saya sangat menyukai buah durian rasa buahnya sangat mengugah selera buah yang sangat saya sukai bila masih tua atau baru jatuh dari pohannya aduh enak bangat.

Jadi karna saya sangat menyukai buah durian saya ingin mengajak teman-sumua untuk mengenal makanan tradisional atau makanan khas dayak yang terbuat dari bahan dasarnya buah durian pasti udah bayak yang tau kalau tempoyak itu makanan yang sangat enak dikonsumsi. Makanan ini masih mengunakan bahan yang alami tanpa dicampur bahan pengawet enaknya luar biasa.
Banyak orang indonasia sediri belum tau dengan makanan ini oleh sebaba itu saya tertarik untuk membuat sautu artikel tentang makanan khas ini agar lebih bayak yang tau dan  bisa memanfaatkan buah dirian yang  mudah didapatkan apa lagi dikalimatan buah durian masih mudah di cari.
 Tempoyak ini berasal dari buah durian yang biasa goreng atau untuk bubu masakan asam ikan maupun sayur  daun-daunan tergantung selera masing – masing.



Asal Mula Suku Dayak



Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.
ASALMULA
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Ciri Khas Suku Dayak - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger